Pada dasarnya pertumbuhan suatu perusahaan dilihat dari kegiatan dalam perluasan usaha yang dilakukan. Perluasaan usaha tersebut dapat berupa pendirian Kantor Cabang atau Kantor Pewakilan. Peruntukan Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan yang dimaksud tersebut memiliki tujuan dan maksud tertentu yang akan disesuaikan. Contohnya seperti pendirian Kantor Cabang yang berada di daerah yang sebelumnya kurang dapat dijangkau berfungsi sebagai penyambung tangan dari Kantor Pusat dalam hal melakukan kegiatan main business . sedangkan Kantor Pewakilan hanya sebagai kantor yang mengurusi administrasi. Oleh karena itu kewenangannya pun bisa jadi tidak seluruhnya dilimpahkan ke Kantor Cabang atau Kantor Perwakilan yang sudah diatur secara jelas didalam anggaran dasar perusahaan. Kewenangan atas perlakuan biaya Kantor Cabang, yang pembayarannya tersebut umumnya dilaksanakan langsung oleh Kantor Pusat dan dibebankan pada pembukuan Kantor Pusat. Walaupun demikian, pada praktiknya juga timbul permasalahan kewenangan pada pemenuhan kewajiban perpajakan khususnya Pajak Penghasilan Pasal 21. Tidak jarang terjadi suatu tarik ulur antara tempat pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan Pasal 21 antara Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan lokasi Kantor Cabang dengan KPP dimana Kantor Pusat didirikan dan bertempat kedudukan.
PPh Pasal 21 yang dipungut oleh Pemerintah Pusat
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu jenis pajak yang pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Walaupun pada hasil pungutan PPh tersebut akan dibagikan kembali ke daerah melalui Dana Perimbangan. Jadi Dana Perimbagan yang merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 disebutkan pada Pasal 1 angka 8. Mengenai PPh Pasal 21 alokasi hasil pungutan yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 bahwa:
"Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen)."
Bahwa PPh Pasal 21 pada hakikatnya yang merupakan pajak pusat, dimana fungsi Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemungut pajak dari Pemerintah Pusat. Sehingga konsep desentralisasi mengenai penerimaan negara berupa PPh Pasal 21 bukan merupakan kewenangan KPP, melainkan sudah diatur dalam hal itu oleh Undang-Undang.
BACA : Perubahan Tarif Pajak Progresif Orang Pribadi
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21
Berdasarkan ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-23/PJ.43/2000 Tentang Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26, yang terdapat pada Pasal 1 sebagai berikut:
"Dalam pengertian Pemotongan PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 antara lain adalah pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi atau badan, baik merupakan pusat maupun cabang, bentuk usaha tetap, perwakilan atau unit, yang membayar gaji,upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan. Pemotongan Pajak tersebut juga dilakukan oleh kantor cabang, perwakilan atau unit tempat pembayaran imbalan jasa ketenagakerjaan dimaksud dilakukan yang pada umumnya menunjuk pada tempat pelaksanaan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Dengan demikian nampak bahwa pada prinsipnya Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak mengatur mekanisme pemusatan (sentralisasi) pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21."
Dengan ketentuan tersebut maka pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 menganut adanya desentralisasi. Sejak adanya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 258/PJ./2000 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP - 22/PJ./1995 Tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP - 205/PJ./1999, dan terkait juga pada KEP - 146/PJ/2018 maka Wajib Pajak yang telah mendapatkan ijin pemusatan pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 tetap dapat melaksanakan pemusatan tersebut sesuai sampai dengan tanggal 31 Desember 2000. Mulai tahun 2001 apabila terdapat pegawai di Kantor Cabang maka pemotongan, penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 atas pegawai tersebut tidak dapat dipusatkan di Kantor Pusat, melainkan harus dilakukan desentralisasikan ke Kantor Cabang.
Tempat terutang PPh Pasal 21
Berdasar peraturan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, mengenai Pasal 21 ayat 1 huruf a yang dijelaskan sebagai berikut:
"...Pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau terutang gaji, upah, tunjangan honorarium dan pembayaran lain dengan nama apapun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan.."
Terkait pengertian mengenai pemotong pajak, berdasarkan peraturan yang diatur lebih lanjut pada Pasal 2 ayat 1 huruf a PER-16/PJ/2016 disebutkan bahwa:
"Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, meliputi:
a. pemberi kerja yang terdiri dari:
- orang pribadi
- Badan
- Cabang, perwakilan, atau unit. Dalam hal yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan atau unit tersebut.."
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 23/PJ.43/2000 tentang Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26
- Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 258/PJ./2000 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-22/PJ./1995 tentang Pelimpahan Wewenang Direktur Jenderal Pajak Kepada Para Pejabat Di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-205/PJ./1999 yang telah diubah terakhir dengan Nomor KEP - 146/PJ/2018
No comments:
Post a Comment